Jumat, 18 September 2009

MENGALAMI MASA DEPAN

Mengalami Masa Depan
Jumat, 10 Juli 2009 | 23:14 WIB

Catatan kreatif dari Cunong N. Suraja)*

Beberapa hari yang lewat aku selesai menuliskan proses kreatif untuk ikutan acara mailing list APSAS. Seperti berjoget di depan kaca tembus pandang aku merunuti jejak tertinggal pada sajak. Aku temukan pecahan-pecahan pribadi yang melekat liat pada daki puisi. Maksud hati mengeruk mengerik mengelupas sampai tandas segala daki puisi. Ternyata itu kerja sia-sia. Walau telah kubuktikan dengan menguliti puisi itu sekali pun! Tolong simak beberapa puisi berikut:

MENGULITI PUISI

kucoba membuka satu persatu lapis demi lapis kulit agar sampai pada inti untuk memahami peristiwa awal kemunculan bunyi dalam rangkaian huruf yang membangun kata dan menyusun kalimat

jadilah puisi itu tegak setegak sajak yang merayapi alinea demi alinea pada paragraf dengan bermacam frase dan klausa membuncahkan imaji yang tak bertepi

jadilah sebuah fiksi yang melayang-layang lincah bagai layang-layang yang berekor terbang di langit biru ditarik tali temalinya dari bumi oleh seorang anak kecil yang mengagumi sepasang merpati membuat sarang

bayangan imaji itu terus menari dan menukik saat malam tiba jadi ilham mimpi seorang jagal yang memotong hewan korban dan mulai menguliti dan memotong tulang dan menyayat sesayat demi sesayat seluruh jaringan syaraf hewan bernama syair.

MEMBUNGKUS PUISI

aku kedinginan di sini setelah kau cabuti kata hujan dalam tubuhku
kejinya kau telah kau hitami seluruh tanda baca yang menghadirkan nafasku
kenapa kau masih juga sanggup mengutungi setiap huruf hidup hingga aku jadi bisu

aku menunggumu membenahi rambutku yang kusut setelah kau gumuli semalaman
begitu masai dan sangsai tubuhku tanpa busana
tanpa belas kau baringkan lagi dengan selangkangan yang terbuka agar ada ruang
untuk kau jejalkan segala imaji dan anganmu yang liar

aku terkapar tak berdaya menunggu uluran tanganmu menutupi segala aibku
kini aku hanya bangunan huruf mati tanpa kata sambung dan kata penghubung

MEMBURU PUISI

semalaman mimpi itu menyelip dalam lipatan kulit jangat menoreh-noreh kenangan yang selalu membayang dalam mata batin yang lelah setelah seharian menguntit jejak sajak
sajak itu menghilang dalam keramaian pentas hiburan dengan segala macam permainan seperti komidi putar dan keriuhan sekaten Yogyakarta
pada sebuah pesta jalanan karnaval arak-arakan pawai demokrasi atas ulang tahun sebuah partai besar menghadirkan barongsai dan ular naga yang digerakkan para pemain kungfu meloncat ke kiri ke kanan meliuk dan tak lupa untuk tiarap (sajak itu) jadi bola merah yang selalu akan disantap mulut naga.
aku ingat Raja Astina Parikesit yang memegang buah jambu yang berisi Naga Taksaka yang merupakan cerminan kezaliman penguasa yang mati oleh ulat buah jambu.
sajak siapa itu yang menghilang dalam larik-larik sajak memaknai ruh tiba-tiba terdekap

MERINGKUS PUISI

benar kata penyair itu ketika hujan bercerita tentang gerimis dan gerimis bercerita tentang titik air dan air bercerita tentang uap yang mengembun dan embun bercerita tentang sengatan matahari dan matahari tertawa lantang: akulah penguasa alam, rajanya bumi dan melintang di batas cakrawala

benarkah kata penyair itu hutan menyimpan misteri tentang gelap dan hujan pagi-pagi serta angin yang mati tertikam musim juga debu-debu yang bersaksi akan selingkuhan lumut dengan bakteri?

benar-benar sendiri dalam kembara di sebuah negeri tanpa hari tanpa detik melata merayapi padang pasir yang tanpa pohonan binatang maupun cerita sejarah kejadian sebuah kerajaan

benarkan jika semua itu hanya cerita bohong penyair yang kehilangan jejak puisi yang telah merasuk dalam sajak penyair yang telah lama menjadi pengagumnya!

MENJEBAK PUISI

seperti Danarto yang menjaring malaikat penyair itu duduk diam mencoba kailnya untuk menjerat semua yang lewat. barangkali saja kelelawar yang membawa buah ranum apalagi kalau burung yang membawa kegembiraan atas temboloknya yang penuh. bukan cerita duka negeri senja!
seperti Darmanto yang memukul bola golf bersama Rahwana dan menggelinding dirumputan penyair itu bergulingan di padang pasir memburu debu-debu pikirannya yang buntu. barangkali saja dari debu itu dikejarnya jejak kaki Tuhan yang terus berlari sembunyi dalam kebenaran sajak-sajak religius penyair saleh yang mati dalam meditasi paginya seusai menuliskan puisi tentang keagungan, keesaan dan kemahaan Khaliknya

MENJARING PUISI

akulah nelayan pantai selatan yang piawai menjaring ikan besar dan ikan kecil dan sudah kujalani pekerjaan ini bertahun-tahun sesuai tradisi seperti nelayan-nelayan dalam cerita Ernest Hemingway yang memburu ikan besar di laut luas

akulah penghuni gang-gang gelap yang senantiasa siap dengan pisau tajam meminta dompet dan perhiasan orang yang tersesat ke jalur ini tak dapat kembali kecuali miskin dan papa

akulah penyair tanpa puisi karena semua jalur telah terisi dengan gaya dan corak puisi yang trade mark. jadilah kau jaring menangkap angin dan menetes jadi darah yang beracun membunuh semua huruf dan bunyi.

akulah penyair yang tertimbun puisi basi karena selalu mengekor setiap ada penyair mengeluarkan kredo dan puisi yang menyendiri dan dianggap asli.

MENGOPERASI PUISI

ini bukan masalah pisau bedah tapi pentungan polisi yang hitam dan memburu seperti demonstran yang membawa spanduk menghujat pejabat

ini bukan petuah di mimbar yang berbicara tentang yang baik-baik dan menghujat yang buruk serta menakut-nakuti umat akan hari kiamat sudah dekat

ini juga bukan kuliah di dalam kelas mahasiswa yang terkantuk-kantuk sebagian lagi terbatuk-batuk yang lain lagi berciuman dengan ketat menunjukkan hasrat yang kuat sebagai pewaris masa depan dan sang pemberi kuliah tetap saja dengan rencananya yang sudah dicatat setiap saat dengan taat

terserah kau akan membuka dengan paksa dengan melukai seluruh nadi, kulit dan tali syaraf per kata bahkan per bunyi
terserah saja
saatnya kau mulai dan tancapkan imajinasimu dengan pasti

MELILIT PUISI

bayi itu bernama Mira Sato merayapi dinding pagar kota membawa pedang sakti dari gunung Kitab Omong Kosong di wilayah Negeri Senja saat senja dimasukkan dalam surat pribadi yang telah diterima dengan baik penerimanya: senja itu lumer seperti es cream legit mencengkram horizon gapaian rambut panjang berkutu berwarna kelabu sambil mengepalkan tangan menjaring angin lindap di ketiak pepohonan menyusupkan bisik berahi mencengkram dada langit menyusup di kerimbunan rambut halus di dahi berkerut menghasut penyair muda menumpuk membongkar laci puisi kerinduan mencengkram cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair melumuri benda ruang dengan semua fatamorgana dan membiarkan mereka menahan ingin


Aku mengetahui kegagalan mengkupas kulit jangat kekreatifanku dalam dunia puisi yang tidak seberhasil Asep Samboja dengan puisi di mailing list penyair yang membuat orang bertanya-tanya karena judul yang menyaran pada peristiwa kematian orang terhormat. Asep Samboja terpaksa melakukan harakiri dengan menjelaskan makna puisinya: Jadilah harakiri penyair yang menguliti puisi sehingga telanjang tanpa ruh. Puisi itu menggelepar-gelepar di tangan penyairnya. Penyairnya berdarah-darah tersayat-sayat kulit kreativitasnya. Alih-alih membuat sebuah katarsis malahan menjadi pesta bunuh diri membuka tabir rahasia penciptaannya. Padahal proses kreatif Asep Semboja dalam menhadirkan imaji tadi berniat mengucapkan selamat tingal masa lalu dan selamat datang masa depan: peristiwa kreatif penyucian diri lewat ungkapan “selamat tinggal” dengan cara Asep Samboja adalah cara membunuh ruh puisi. Memutus hubungan keterikatan batin yang dalam kreativitas selalu dicurigai sebagai epigon bukan proses “plagiarism” atau penyontekan penjiplakan mentah-mentah dan menjadi bayangan anak kembar cloning pada penyair yang dipujanya. Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya. Aku mencobanya dengan beberapa puisi berikut:

PUISI SAPARDI

kucabuti segala kata hujan hingga penyair kedinginan
apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam
makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya
kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi
sampai kutemukan sepotong dukanya makin mengabadi

kukutungi semua kata yang berbicara tentang bulan Juni
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas

kureka seperti apa jika semua puisi Sapardi kuhitami
pastinya tinggal sehelai kartu pos dan lukisan cat air
yang berbicara tentang cinta yang tak lagi sederhana
sebab ternyata cinta bukan segalanya di dunia fana

PUISI SUTARDJI

seperti juga puisi Sapardi kukuliti milik Sutardji
kucabuti kepala dan huruf besarnya
kuhapus semua huruf yang liar mengubah warna kata
kuhitami jejak jalan keluar dari mesin pintar pengolah kata

seperti puisi Sapardi juga semua kata puisi Sutardji kusuruh harakiri
mereka saling menusuk seperti semut hitam saling membunuh
selayaknya desa yang berperang hanya merebutkan kata cinta terlarang
seperti para tentara Israel dengan pongah membombardir penduduk desa
yang tinggal anak-anak dan sejumlah perempuan renta
juga Amerika Serikat yang dermawan murah hati menjatuhkan bom napalem
di bumi Vietnam Selatan, Afghanistan, juga Irak
demikianlah sajak dan puisi Sutardji tinggal tanda baca saja

PUISI SUBAGIO

dewa mabuk mati di planet menyiulkan keroncong Motinggo
makin akrab kematian itu seakan mega berarak di ranjang
membungkukkan patah punggung tapi tepat saja luput terindu

pada sepi yang meninggi seakan Chairil Anwar di senja pelabuhan kecil
iseng dengan rohnya dan meluncur ke dalam lembah Kilimanjaro
sebuah daerah perbatasan antara bawah sadar dan mimpi yang tak terbantahkan
layang bayangan dan matahari Sapardi yang berebut mata pisau

PUISI GOENAWAN MOHAMAD

yang satu ini penyair yang bagai guci antik yang retak dalam dingin tak tercatat dan menuliskan kata Sarajevo penuh lalat dan ketidakadilan selayaknya Pulau Buru tempat tapol diperam membajak tanah dan tak lagi berhubungan dengan sanak kerabat maupun dunia yang senantiasa berputar

yang satu ini memang seorang penulis catatan pinggir yang tak mau minggir dari jabatan tertingginya di dunia tulis menulis sehingga menutupi kanal-kanal prioritas penulis muda untuk berkiprah dan menorehkan puisinya di sebuah kalam

yang satu ini senantiasa menyuarakan suara bawah tanah yang menguak ketidakadilan dan kesenjangan budaya antar bangsa

PUISI RENDRA

demikian juga puisi Rendra sama halnya puisi Sapardi dan Sutardji kupenggali kalimat demi kalimat yang memberontak pada penguasa zalim dan membela si miskin
semua panorama senjakala dan suasana di stasiun bawah tanah di New York kuhitamkan dengan tinta spidol yang beraroma alkohol memabukkan dan meracuni udara kota

puisi Rendra jadi seperti ayam trondol tanpa bulu, gundul tanpa rambut dan botak mengkilap sehingga kehilangan pesona sajaknya
Rendra merunduk dalam belantara kata-kata seperti ketika meringkuk dalam tahanan di jalan Guntur tangannya selalu mengepal meneriakkan perlawanan mirip Wiji Thukul dengan kata lawan yang menghilangkan manusiawinya hingga sekarang

Rendra diam membisu ketika kutawarkan sebatang lisong dan jagung yang teronggok di sudut sekolah tempat guru dan murid bercengkrema melampiaskan hasrat berkuasa dan menangisi usianya yang sia-sia dalam sebuah pidato kebudayaan

Setelah cukup lelah melepaskan indentitas pengekor, epigon, follower atapun copy paste. Aku coba dengan memburu kata sexy dan menawan untuk dipermainkan dalam olah kata. Aku menyeret imaji masa lalu dalam rentetan kecerewetan akal mengakali kata yang tampak eksotis. Kata itu kugumuli cukup lama dengan potret-potret perjalanan hidup yang carut-marut. Kekecewaan atas perlakuan minoritas perbedaan gender dan ketersudutan yang lemah dan miskin kekuasaan. Hanya kata yang dapat diperkosa semena-mena. Kata itu aku "rudo perwoso" agar menyediakan luang ruang meninggalkan jejak panjang. Sila simak sajak berikut:

NIGGER

ketika anjing menyalak tak menggigit ketika anjing menggeram siap mengoyak giginya yang menyeringai membelah langit cakarnya menggaruk nasib pada malam kelam pada dataran mimpi dewa-dewi dan peri gigi
2007-10-09

BITCH

perempuan yang berjalan menuju kegelapan memuntahkan janin dalam gang-gang menorehkan nasib pada jendela apartemen meluncur menuju bumi untuk mati dan dunia menyeringai bagi nama pahlawan devisa
2007-10-09

F _ _ K

maumu menyeringai dengan taring liberalisme yang keluar sendawa bau alkohol murahan merayapi malam dengan mimpi gelandangan menancap pada makam kuno yang telah dibongkar
2007-10-09

MORON

apalagi yang kau tawarkan selain teh tawar dalam senja yang temaram dengan bunyi gaduh cafe hanyalah sendau-gurauan para penghuni malam yang sia-sia
2007-10-09

DAMN IT!

dampak luka lelaki yang ditinggal lari perempuannya menorehkan malam tanpa bintang di langit dipindah di batok kepalanya
2007

Kata-kata sebagai judul itu datang dari masa pembuangan di negara Paman Sam sebagai kata makian.

Peristiwa harakiri Asep Samboja menimbulkan trauma, tidak terhadapku karena teror selanjutnya datang dengan ledekan dan lecehan atas keberanian sikap ditantang oleh sang tokoh. Sajak jadi pulas tidur tanpa mimpi.Sajak jadi mati gaya karena kegamangan. Untung ada mailing list yang instant melahirkan sajak jeprut yang kadang juga tidak jelek-jelak amat. Ini lah mereka:

ORKES MUDIK 1425 H

dari balik jendela maya
kuratapi genangan lumpur
yang meredam arah mudikku

blebeb blebeb blebeb

dari raihan tangan munggilku
hanya doa yang tersangkut
menggagap malam 1000 bulan

blebeb blebeb blebeb
2007

SURAT PAMAN

kukirim surat ini saat Paman sedang kelaparan cari korban
dengan pernyataan sederhana dan selesai kulunasi hutang penjahat negara
35 milyar dolar Amrik berapa nolnya?
karena saya hanya dapat nolnya

kukirim surat ini saat hujan gerimis tertahan di langit
seperti dongeng negeri senja yang tak pernah malam
tak pernah pagi dan penghuninya memakai cadar
karena fakta dibekap cerita kreatif bicara

kukirim surat ini ketika senja sudah dipotong Seno Gumira Ajidarma
menjadi cerita pendek buat pacarnya
juga dipesan saat senjakala oleh pencopet saat nonton karnaval

mari ikat semua sajak dan puisimu di galah
agar si telaga dan si bunga jatuh dalam pelukan pagi
berjalan menuju ke barat berhenti ketika bayang-bayang menghilang

TOILET KITA-KITA

tanpa air tanpa atap tanpa bumbu penyedap karena baunya sudah sedap sesedap kudapan jaman baheula yang tersimpan 1000 tahun!
2007

SYAIR SUSU SEPI

tegak lurus bisu kaku
dalam temaram rembang senja
perahu melintasi telaga

berbaring lurus di padang pasir
menanti hari luruh didekap
di dada cakrawala yang mekar

puting itu meneteskan isyarat
tentang keabadian
tanyakan pada penyair
yang sedang memantau angin

hujan dan gerimis berpacu
menuju koala
menuju dada penyair
dalam sedan tertahan

sepiku melintas ditangkap jaring penyair yang mengail angin!
bogor diguyur hujan sore 2007

PUISI DAN PEREMPUAN

setiap kali membaca puisi lelaki selalu terrefleksi tubuh perempuan ketika tidur di ranjang ketika mandi di kali ketika makan di restauran ketika menangis di perkabungan ketika tersenyum saat melahirkan dan dilamar pria ketika suatu ketika di dalam keranda pualam bak putri Salju menunggu sang pangeran
2007

PUISI ADALAH ...

puisi adalah hujan bulan juni kata Sapardi Djoko Damono puisi adalah hujan dan ayam kata Sutardji CB puisi adalah tambur mainan anak-anak di negeri ajaib kata Rendra puisi adalah guci retak kata Goenawan Mohamad puisi adalah bayi mati tak mati mati mati kata Mira Sato puisi adalah cakrawala tanpa batas dan berdoa dan menyatakan cinta kata Taufik Ismail puisi: perkenankanlah aku memuisi menjadi puisi
2007

TAK JADISUTARJADI TAK

ketika kau terkantuk,
ikanaku menjadi tarji
ikankuda menjadi tak tarji
keongkuda menjadi tarji tak
keongbambu menjadi tak tarji tak
lumutbambu menjadi tarji tak tak
lumutabu mengabu: jitak!


SELAMAT TINGGAL

bergandeng tangan
susuri setapak jalan

tersangkut hatimu di satu tepian
terpaut hatiku di tepian lain

perpisahan menanti di ujung jalan
sampai jumpa di lain pernikahan

2005

SELAMAT DATANG YA RAMADHAN

rindu itu makin menumpuk
serasa tumpukan daki
dan ujung hitam di kuku
tak tuntas ditetak

mohon maaf ya karib, sohib perkawanan
bukakan keridhoanmu
bagi jalan suci di bulan Ramadhan
tak lupa kubuka pintu maafku lahir batin

spt 29 05

Fasilitas berikutnya sebelumnya adalah Homepage seperti Kompas.com maupun media masa yang sudi menghibahkan bandwithnya untuk kekonyolan pemain katakata. Baru hadir fasilitas Blog, Multiply dan segala bentuk catatan pribadi yang sungguh-sungguh narsis dalam artian tanpa editing dan sensor orang lain kecuali hati nurani penulisnya. Aku gagal membentuk fasilitas terakhir karena kemalasan. Maka setelah lahir wahana internet baru facebook yang bagai lautan mampu menampung segala bentuk cacian, makian, sampah pikiran maupun biji-biji bernas gagasan dan tidak memerlukan penjaga gawang atau owner atau moderator (walaupun terjadi juga pembrangusan bagi yang dianggap spam atau junk mail oleh penyelenggara facebook, karena ada pelaporan bahwa pribadi yang bawel dan bocor dalam menorehkan imaji itu ditutup fasilitasnya sementara setelah memuntahkan segala macam residu otak secara bertubi-tubi tanpa henti sesekonpun). Mari silakan makan sampah wall dan takikan jawaban pada kawan facebook yang tercoret di dinding mukabuku:

KEPADA HUDAN

hampir malam menuju pusarnya yang bulat pipih kau selalu hadir saat aku ingin melupakanmu kau mengusik lewat mimpi sesaat yang memanfaatkan waktu jeda

PULANG

dapatkah kau kembali pulang sedang ragamu masih terikat kontrak kerja negeri sebrang mampukah kau renangi masa kecilmu di negeri orang sedang foto-foto di album itu berjamur mengaburkan wajah mungilmu tidak aneh jika kau mudik terusik akan dunia kerjamu yang rapat tapi jika kau kerja kau melamunkan tanah garapan moyangmu yang telah menghutan kembali

MALAM PANJANG

belum juga kau selesaikan makan malammu kau seret imajiku atas hamparan padang rumput bulan purnama kau gulingkan tubuhmu di hamparan permadani alam aku termangu untuk meneruskan tingkah lakumu adakah cinta di sela batang rumput itu?

MALAM YANG SUSUT KELABU

kata GM ada suara sauh jatuh bergema adakah kita makin menepi pada ranjang besi makin pualam makin dalam?

MALAM TURUN

senja memerah darah menutup hari dengan ceria hari ini kata hikayat besok pagi akan benderang mengusir hujan kemarau kemarau kemarau adakah kau sisakan gerimis bagi pejalan malam ini?
ku tebarkan wangi tubuhmu bersama wangi tanah tersiram gerimis renyai
aku terpesona dan ngungun di bukit rimbun perdu mengintipmu di sela-sela batang perdu yang berbunga ungu
mestikah aku mendekat?
(aku takut terpikat!)


MENCARI TEMAN

ketika kautawarkan sebuah arena yang terbuka luas dan jujur kuburu segala sudut arena untuk mencari yang lama dan baru tiba-tiba kau katakan: berhentilah bergunjing di arena itu! (suara siapa yang tak segera kukenali? walau sebatas dalam relung hati yang masgul)

MIMPI SORE

Tuhan Hudan menyodorkan sejumlah mimpi dalam paket hemat dan harga terjangkau Di ujung barat masih tersisa senja hari ini yang telah dipotong penulis cerita itu di kirimkan ke pacarnya aku terus bermimpi mimpi pengembara menemukan ujungnya senja!

MAKA TERCIPTALAH PADI

karena kemarahan Batara Kala matilah Dewi Kesuburan dan dari jazadnya tumbuh rerumputan kemudian menjilma pepadian

MEMBACA HUDAN

hudan adalah hidayat dari langit terbentang melapis-lapis dari hitam kelabu hingga putih kapas di langit biru muda hudan datang hidayat pelangi melengkung menuju telaga tempat Jaka Tarub mengutil baju bidadari dan dikawini hingga beranak satu hudan memburu hidayat bahagia bumi yang semu dan hanya tertuang dalam padi yang dimasak dewi pelangi gagal jadi nasi dan tetap padi menangislah manusia bumi!

KEMBALI KE RUMAH

setelah menyususri jejak berdarah di Afghanistan, Irak dan Palestina kutemui jalan pulang untuk berkorban dengan harta dan doa setelah lama baru kumengerti nilai darah yang tumpah di tanah sendiri ternyata mudik dengan segala macam cara adalah ritual bersih diri setelah berdiri lama memandang bukit Jayagiri dalam samar pagi tak kujumpai lagi melati yang kau tinggalkan di sini

PESAN

jangan kau sentuh perempuan-perempuan jika hanya akan kau campakkan jangan kau nikahi perempuan itu jika hanya untuk menunjukkan kejantanan

JAYAGIRI SEUSAI SENJA

masih merah jejak di langit dalam genggam gerimis kecut warna yang meleleh dalam percakapan sunyi bak petapa mengutip jejak angin menuju bukit membelah angan Sangkuriang resah mengecup jejak bunda inilah nubuatmu OEDIPUS! tak sudi aku mendorong batu Sysipus yang senantiasa berguling lagi ke bawah Promoteus rentangkan tanganmu agar rantai lerai melilit bumi

SEMAR

kata itu muncul saat ki dalang membuat gara-gara lalu terjadi keributan saling pukul saling hantam mereka berdarah dan memar tanpa bantuan medis mereka memperebutkan tawa dari penonton dan Semar semakin samar karena muncul dalam sejarah politik

SABTU SENGGUTRU

sudah ke enampuluh purnama badan lungkrah lesu seakan ada yang menyayat kulit dan ada makhluk lain menyesap keluar kulit seiring dengan pemekaran tubuh menggelinjang bergetar gigil panas meledak memecah membucah mengelora menggelombang ada suara jatuh di sudut jauh yang makin susut dan melesap dalam angan

Then what’s next? Setelah segala macam fasilitas internet yang mendekatkan jarak, menghubungkan silaturahmi dan mengeratkan kekayaan batin masing-masing penikmat fasilitas teknologi komunikasi canggih, fasilitas apa lagi yang akan mengebor segala kekayaan pribadi seperti halnya facebook yang sudah menguras tuntas bentuk verbal, pesan tulis maupun gambar dan gerak dalam rekaman video beserta segala bunyi. Adakah sarana lain yang akan lebih menginstantkan cara berkarya di masa depan? Adakah jawaban teknologi mutakhir mampu merekam segala yang ingin direkam? Mampukah menyimpan segala embrio pikiran yang masih dalam janin angan-angan. Menjadikan futurer dan fortuner yang handal untuk dunia di depan yang akan direka untuk kemaslahatan anak cucu mendatang.

Bentuk sajak dengan segala macam tanda: penanda dan petanda akan lahir seperti yang sudah dikenal dengan nama cyberpoetry, cyberpoem, cyberliterture yang mencakup essay, novel dan cerita pendek. Cyberbook yang dikenal dengan e-book dan belajar melalui internet yang dikenal dengan e-learning yang sudah mengalahkan proses open distance learning kuno yang masih menggunakan modul yang berupa buku cetak maupun bentuk rekam suara dalam pita atau cakram padat.

Modul sebuah kata yang padat untuk mengemas masa depan. Masa yang dimampatkan dalam cakram. Masa yang nantinya seperti tukang sihir membaca pikiran lawan dan menghasilkan jurus sihir baru yang mungkin seperti kitab yang diburu Satya dan Maneka dalam Kitab Omong Kosong maupun sang pengembara yang selesai dalam petualangan Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma.

Bogor habis nyontreng pilpres 2009

dicomot dari: http://oase.kompas.com/read/xml/2009/07/10/2314547/mengalami.masa.depan

)*: BIODATA
Name: Cunong Nunuk Suraja
Place and Date of Birth: Yogyakarta, October 9, 1951

EDUCATION:

1963 graduated from Elementary School (Sekolah Rakyat Negeri Petinggen I) in Yogyakarta

1966 graduated from Middle School (Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII) in Yogyakarta

1969 graduated from High School (Sekolah Menengah Atas Negeri III) on Natural Science (Ilmu Pengetahuan Alam) in Yogyakarta

1979 graduated from B.A. of English Educational Program (Sarjana Muda Pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Seni Sastra – IKIP) in Yogyakarta

1981 graduated from Sarjana (Sarjana Pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni – IKIP) in Jakarta

2006 graduated from Magister (Ilmu Susastra, FIB – UI) in Depok (Jakarta)

JOB EXPERIENCES:

1983 – 1992 teaching English in Teacher Training for Elementary Teacher (SPG Negeri) Sukabumi

1992 – 1995 teaching English in Tourism Vocational School (SMK Pariwisata Negeri) Bogor

2001 – until now part time teacher in Tourism Vocational School Bogor

1989 – 2008 a part time teacher in English Education Program, Ibn Khaldun University Bogor

2001 – until 2009 a part time teacher in English Education Program, Pakuan University) Bogor

2008 – until now a teacher in English Education Program, Ibn Khaldun University Bogor


PUBLISHING BOOKS

Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM

Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogyakarta: Taman Budaya Propinsi DIY

Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung

The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society

The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry

The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry

Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yayasan Multimeina Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung

Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta

Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimeina Sastra dan Penerbit Damar Warga

Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimeina Sastra

Mekar in Bumi. (Visiografi Eka Buinanta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet

Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar