Selasa, 29 September 2009

PROSES KREATIF TRI WIBOWO BS

Banyak sahabat di FB yg bertanya kepada saya apakah kisah dlm Novel GUNUNG MAKRIFAT adalah kisah nyata? Bagaimana novel itu bisa ditulis? Sulit menjawabnya, sebab ia adalah perpaduan dari kisah nyata dan fiksi - juga pengalaman yang transenden. Tetapi memang ada semacam kisah yang membuat saya "terpaksa" menuliskannya dalam bentuk NOVEL dan satu lagi dalam bentuk RISALAH (yg belum terbit karena keterbatasan duit). Kira-kira, kisah itu adalah seperti ini:

Manusia adalah bagian dari sebuah kisah yang telah dirancang dengan cermat oleh Penulis Agung. Setiap kejadian demi kejadian di seluruh tataran eksistensi adalah berkelidan seperti jejaring laba-laba. Satu getaran peristiwa di satu ujung jejaring akan dirasakan dan mempengaruhi seluruh lintasan jejaring hingga ke delapan ujung jejaring itu — seperti “butterfly effect,” di mana kepak sayap kupu-kupu di ujung timur dunia bisa menimbulkan badai di ujung barat dunia.

Ada banyak peristiwa yang kita anggap besar; peristiwa yang laksana angin badai datang menerpa rumah kedirian kita, membuka jendela-jendela persepsi kita, mengguncang arsitektur kesadaran kita, dan mengubah diri kita, entah itu untuk sementara atau untuk selamanya. Lalu kita berusaha merenungkan dampak peristiwa itu, bagi diri kita sendiri atau, barangkali, bagi cara pandang kita terhadap keberadaan diri kita sebagai manusia.

Namun peristiwa “besar” itu tak selalu berupa kejadian historis yang mengguncang tatanan sosial atau kemanusiaan — peristiwa besar itu boleh jadi sebentuk momen pencerahan, seperti lintasan cahaya kilat di kegelapan pekat yang membuat kita memandang situasi sekitar kita yang, walau mungkin hanya sesaat, membuat kita menyadari akan adanya sesuatu yang lain. Barangkali dalam perjalanan hidup kita ada banyak momen-momen pencerahan semacam itu namun, sayangnya, kita terlampau sibuk oleh hiruk-pikuk dunia, oleh pikiran yang seperti tiada kenal lelah menjelajah di benak kita. Karena itu, beberapa orang yang peduli pada kehidupan kontemplatif merasa harus menarik diri, setidaknya untuk sementara, untuk menangkap momen-momen pencerahan itu.

Tetapi, terkadang juga momen itu datang secara tak terduga, seperti sebentuk takdir yang tak terelakkan yang memerangkap kita begitu saja dalam keterpesonaan mistis yang membuat kita merasa waktu berhenti sepenuhnya, membuat kita merasakan sesuatu daya yang sungguh berada di luar kendali kita dan mengendalikan seluruh hidup kita. Dan kitapun bertanya-tanya lagi tentang siapa diri kita sesungguhnya: dari mana, mau ke mana dan untuk apa hidup? Apa arti kehidupan yang suatu saat nanti pasti berakhir? Singkatnya, pada akhirnya, sampai titik tertentu, renungan yang sunggguh-sungguh niscaya akan membawa kita pada pertanyaan tentang hubungan kita (manusia) dengan alam semesta dan Tuhan, dan karenanya, tentang kesementaraan dan keabadian, atau sangkan paraning dumadi.

Dan demikianlah beberapa keping momen itu datang dalam tata-situasi yang biasa saja, tanpa persiapan khusus — sebuah momen yang melahirkan perubahan hidup, dan juga gagasan untuk menulis sebuah buku. “Ikatlah ilmu dengan menulis,” demikian anjuran Sayyidina Ali ibn Abi Thalib – karamallahu wajhah. Kata-kata inilah yang selalu terbayang sebelum huruf pertama saya ketikkan di layar komputer. Tetapi apa yang mesti saya tulis jika hal-hal yang hendak saya tulis itu adalah bagian dari perjalanan panjang dalam usaha memahami siapa diri ini, memahami kehidupan, dan juga kematian? Setelah sekian lama didera keraguan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis, sebuah tulisan yang berbasis pengalaman dalam menempuh perjalanan ruhani. Benih buku ini lahir dari perjumpaan dengan manusia yang dalam dunia Islam dikenal sebagai Wali Allah, sahabat Tuhan.

Pada awalnya adalah kesedihan. Tiga puluh enam purnama saya harus menemani almarhum ibu berjuang melawan kanker, sampai akhirnya beliau harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Sejak itu saya bertanya-tanya, apakah ini cobaan atau azab? Jika satu per satu orang yang kita sayangi meninggalkan kita, bukankah absurd untuk hidup di dunia ini? Apakah hidup itu seperti yang digambarkan kisah Yunani kuno, mitos Sisifus? Sisifus dikutuk oleh para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung seumur hidupnya, dan begitu sampai di puncak, batu itu akan mengelinding lagi ke bawah — dan Sisifus harus mendorongnya lagi ke atas, dan kejadian itu berulang selamanya. Seperti juga kita semua, hari demi hari berjuang bertahan hidup meski kita tahu bahwa kematian tak bisa kita halau. Detik demi detik kita menyerap cinta dan bahagia, walau pada saat yang sama kita juga menghisap derita dan kesedihan. Barangkali tangis pertama bayi adalah tangis kebahagiaan dan kesedihan, sebab ia mungkin, entah bagaimana, tahu bahwa kelak akan menghadapi banyak hal yang mungkin membuat hatinya “berbunga-bunga” dan “berdarah-darah.”

Selama pencarian makna ini, samar-samar saya mendengar ada aspek dalam agama Islam yang bisa membuat kita memahami makna kehidupan ini secara lebih mendalam dan membuat hidup kita lebih tenang dan damai — yakni ajaran Tasawuf. Saya mengawali perkenalan dengan Tasawuf dari buku-buku, dari cerita mulut ke mulut. Berbulan-bulan saya menekuninya, namun tak kunjung datang itu kedamaian di hati. Lalu muncul prasangka buruk ketika menjumpai banyak hal yang “aneh-aneh” dalam ajaran Tasawuf, dan prasangka ini bertambah kuat karena ada pandangan buruk tentang Tasawuf dari sebagian kalangan umat Islam modern. “Murid harus seperti mayat di tangan syaikh-nya” adalah salah satu contoh ajaran yang menurut saya waktu itu adalah absurd. Pada akhirnya saya memutuskan untuk belajar langsung dari tangan pertama, kepada orang yang diakui luas sebagai Mursyid pengamal ajaran Tasawuf.

Ringkas cerita, saya datang dengan penuh semangat mengunjungi Guru Sufi termasyhur di Jawa Barat, Kyai Ahmad Shahibul Wafa Taj al-Arifin, Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah. Di benak saya telah tersimpan banyak pertanyaan yang akan saya ajukan, dengan harapan beliau memberi keterangan yang panjang lebar. Tetapi peristiwa selanjutnya di luar dugaan saya.

Saya berangkat dari Yogyakarta selepas subuh, naik kendaraan roda dua, dan sampai di Pesantrennya di Tasikmalaya pada malam hari. Selepas shalat subuh berjamaah keesokan harinya, para tamu, termasuk saya, diberi kesempatan untuk berbincang dengan beliau. Setelah berbasa-basi sejenak, sebelum saya sempat mengeluarkan sepatah katapun, Kyai tiba-tiba bertanya sambil memandang saya, “Siapa ya yang datang dari Yogya?” Saya bersama seorang teman saya mengangkat tangan. “Besok pulang ya,” kata beliau sambil tersenyum. Apa-apaan ini? Begitu pikiran saya waktu itu. Saya merasa tak puas. Saya tak mendapat penjelasan apapun. Namun selepas pertemuan, seorang ikhwan menasihati saya agar saya menuruti perintahnya. Akhirnya dengan sedikit jengkel saya pulang juga esok hari selepas subuh, tanpa sempat berbincang, apalagi bertanya kepada beliau.

Baru saja saya sampai di kamar kost saya pada sore hari, datang seorang mahasiswi, teman dari teman saya. Kedatangannya hendak minta tolong karena ada keadaan darurat. Mahasiswi itu harus menyerahkan skripsinya esok hari, namun file skripsinya rusak terkena virus, padahal belum sempat di print-out. (Saya waktu itu memang bekerja di rental komputer sebagai tukang membantu membuat dan mengatasi segala masalah yang berhubungan dengan pengetikan, penyuntingan dan penyelesaian skripsi.) Dan kami berdua mengerjakan skripsi itu selepas maghrib hingga selesai menjelang subuh.
Setelah dia pulang, seusai salat subuh saya mulai memikirkan kejadian aneh ini. Mengapa sepulang dari pesantren itu saya disambut dengan permintaan tolong? Sepertinya Kyai itu tahu apa yang mesti saya lakukan bahkan sebelum peristiwanya terjadi. Saya terus memikirkannya, tapi tak juga menemukan jawaban yang memuaskan. Sampai pada satu titik, ketika cahaya pertama matahari menyusup ke kamar, saya mulai terbayang wajah Kyai itu dan sorot matanya. Pada detik itulah saya seperti melihat semuanya, seperti ada “lempengan cahaya pengetahuan” yang susul-menyusul masuk ke benak; dan entah bagaimana, saya merasa tak perlu lagi bertanya ke mana-mana. Apa yang selama berbulan-bulan saya pikirkan dengan segenap akal pikiran saya tiba-tiba menjadi jelas hanya dalam hitungan detik. Apa yang saya cari tiba-tiba sudah ada dalam hati.

“Pengusiran” oleh sang Kyai itu menyadarkan saya tentang satu hal yang amat penting: bahwa ada banyak hal yang berada di luar jangkauan akal-logika, sesuatu yang mengatasi ruang dan waktu. Makna “murid harus seperti mayat di tangan Syaikh-nya” atau murid harus sami’na wa atha’na, “mendengar dan taat,” menjadi begitu jelas. Dalam kasus saya, Kyai itu sepertinya tahu bahwa hidup saya, pada momen itu, lebih bermanfaat jika saya pulang ketimbang jika saya ada di sana — saya bisa membantu seseorang keluar dari kesulitan.

Pada akhirnya, setelah saya benar-benar berbaiat ke tarekat itu, saya menyadari makna utama dari perintah “pulang” itu: Saya harus “pulang” menziarahi diri saya sendiri, sebab segala apa yang saya cari ada dalam diri saya sendiri — man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”

Dari titik ini saya mulai membaca ulang berbagai peristiwa dan tulisan-tulisan dengan sudut pandang yang baru. Tiba-tiba ayat-ayat al-Qur’an al-karim seperti bermunculan di setiap peristiwa yang saya lihat dan renungkan. Ayat tak lagi tampak sebagai huruf, kata dan suara. Ia seperti hidup, menggerakkan hati dan mencerahkan. Satu ayat bisa memancarkan banyak makna ketika kita bertafakur atasnya. Satu ayat bisa berubah maknanya bagi kita sesuai dengan keadaan diri kita, muncul dalam makna yang sama sekali lain dari yang sebelumnya kita pahami. Tetapi makna ini datang dan pergi, sesuai dengan keadaan hati saya yang “naik-turun,” yang lebih sering berbuat dosa dan kesalahan.

Ada masa-masa ketika diri ini menjadi amat jengkel karena setelah bersusah payah memahami ajaran Tasawuf dengan membaca banyak buku, namun apa yang saya harapkan, yakni memahami makna dari ajaran atau ayat, dan mendapatkan “pengalaman” spiritual, tak juga saya dapatkan. Pikiran lebih sering keruh dan hati menjadi gelisah. Tinggal kelesuan yang tersisa. Pada akhirnya saya mendapat nasihat dari seorang ikhwan untuk tidak mengandalkan akal dan upaya diri sendiri. “Sebagai pemula, banyak-banyaklah berzikir saja, jangan terlalu dalam berpikir dan merenung-renung dan jangan terlalu banyak membaca,” kira-kira seperti itulah sarannya. Di zaman yang begitu memuja kapasitas intelektual dan kemajuan sains ini, saran itu terdengar absurd; bagaimana saya bisa paham kalau saya tak belajar, tak membaca, tak berpikir?

Namun saran saya itu tetap saya ikuti. Saya tutup semua buku yg rajin saya tekuni, buku2 tentang agama, filsafat dan Tasawuf, dan saya rimpan rapi di rak, dan setiap malam saya amalkan zikir sebagaimana di ajarkan oleh Syekh Mursyid saya. Ya, hanya zikir saja selepas shalat wajib, tanpa belajar lewat buku. Hingga pada suatu malam saya begitu letih dalam berzikir selepas Isya, lalu merebahkan diri berbaring dengan tetap memaksakan hati untuk terus mengucap “Allah, Allah, Allah….” Lalu datanglah momen itu: tubuh merasa begitu ringan dan penglihatan kabur, lalu saya merasa tidak berada di kamar; seperti berada di sebuah ruangan yang bercahaya putih dan sunyi. Benar-benar sunyi. Saat itu ada perasaan begitu tentram, namun juga menakutkan. Saya tak tahu berapa lama keadaan semacam itu berlangsung, namun begitu saya tersadar, saya merasa gemetar dan takut. Saya tak tahu apa makna dari pengalaman dan apa manfaatnya.

Keesokan harinya, seorang teman satu kos, seorang Muslim keturunan Tiong Hoa, menemui saya di kamar dan menceritakan permasalahan yang mengganggu hatinya. Ia, katanya, merasa tak mengerti dan tak puas dengan beberapa hal dalam ajaran Islam, juga ada persoalan pribadi yang mengganggu. Dia meminta nasihat. Saya tentu saja bingung, karena seumur hidup baru kali ini dimintai nasihat tentang sesuatu hal yang bahkan saya sendiri juga tak mengerti. Saya tahu bahwa nasihat normatif seperti yang diajarkan di buku-buku tidak akan memuaskan dahaga orang semacam ini, sebab saya tahu dia juga telah banyak membaca buku tentang Islam, dan bahkan mungkin bacaannya lebih banyak daripada saya.

Tiba-tiba mata saya menatap Al-Qur’an dan terjemahnya dari Depag RI di atas meja. Entah mengapa saya tertarik untuk mengambilnya, lalu saya buka secara acak. Dan keanehanpun terjadi. Saya membaca satu ayat, dan saya beri keterangan, lalu terbetik dalam pikiran saya untuk mencari suatu ayat lain yang entah bagaimana sudah muncul di benak saya. Dan demikianlah, saya berbicara dengan menggunakan al-Qur’an, bukan menggunakan kemampuan berpikir saya; seolah-olah saya hanya menjadi alat bagi al-Qur’an untuk berbicara kepada teman saya. Ayat demi ayat saya tunjukkan kepadanya, dan semuanya seperti berhubungan satu sama lain, membentuk suatu pemahaman yang mengena dan relevan bagi teman saya. Teman saya tampak puas dan berkali-kali berterima kasih. Setelah teman saya pergi, saya heran bagaimana saya bisa berbicara seperti itu? Dan saya bahkan sudahLUPA apa yang tadi saya bicarakan dan ayat mana saja yang saya tunjukkan padanya. Dan saya tak bisa mengulangi lagi kemampuan ini -- ini DI LUAR kehendak dan kemampuan saya.

Sejak saat itu saya mulai sedikit mengerti bahwa Awliya Allah adalah orang-orang pilihan yang senantiasa berupaya merasakan kehadiran Allah, seperti merasakan asinnya garam dengan lidah mereka, merasakan kehadiran Allah di setiap penghayatan hidup yang disadari. Mereka adalah orang-orang yang melihat dengan Nur Allah, yang memandang sesuatu sebagaimana hakikat sesuatu itu sendiri, bukan berdasarkan pikirannya, apalagi prasangka. Pengalaman demi pengalaman selama pencarian yang tertatih-tatih dan tak jarang harus terperosok dalam kubangan kesalahan dan dosa, membuat saya sadar bahwa Tasawuf, paling tidak menurut saya, adalah inti dari ajaran Islam. Kekaguman dan ketakziman saya kepada para Wali Allah inilah membuat saya ingin “mengikat” sebagian pemahaman saya yang terbatas dan juga ingin berbagi apa-apa yang telah saya baca, saya dengarkan dan saya alami.

Tetapi pada akhirnya kita mesti mencamkan nasihat seorang sastrawan berikut ini:

“Who Knows? Who knows why we live, and struggle, and die? Wise men write many books, in words too hard to understand. But this, the purpose of our lives, the end of all our struggle, is beyond all human wisdom.”

Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut al-Jawi

-------------------------------------- -
BIODATA
Tri Wibowo BS, yang juga dijuluki “Mbah Kanyut,” lahir di Demak 35 tahun lampau, lulusan SMA 3 Semarang dan FE UII Yogyakarta – namun tak tega mencantumkan gelar Sarjana Ekono (SE) karena selama kuliah sering mencontek saat ujian dan menggunakan data palsu untuk penulisan skripsinya. Sempat kerja di sebuah bank namun tidak betah karena harus menggunakan sepatu, baju dan celana rapi, dasi dan tidak bisa merokok di ruang kerja yang ber-AC.

Kini bekerja sebagai editor, penerjemah, dan sesekali menulis dengan bebas mengenakan kaus, sarung, tanpa pakai sepatu dan dasi, bebas merokok kapan saja. Telah menerjemahkan lebih dari 30 buku sejak tahun 2000, menulis beberapa cerpen dan sampai saat ini baru dua buku yang sudah diterbitkan yakni GUNUNG MAKRIFAT (novel) dan DIVINE MADNESS (tentang para sastrawan besar yang gila). Sekarang sehari-hari lebih banyak nongkrong di rumah sewaan di Yogyakarta, membaca, menerjemah, dan menulis, di temani oleh istri dan anak, sambil merokok dan minum kopi. Sesekali dolan ke Jakarta dan Banten atau naik gunung kalo sempat.

Senin, 28 September 2009

PROSESKREATIF “LIMA HURUF PURBA” Aryo Yudistira

Puisi itu tercipta pada suatu sore saat sedang berselancar di dunia FB, saat itu mata tertumbuk pada sosok wanita yang membuatku kagum! Tapi jika di logika nggak mungkinlah orang seperti aku bisa mendapatkan dia. Akhirnya untuk mengabadikan peristiwa kecil itu timbullah hasrat menulis puisi. Terciptalah tokoh ”aku” yang kagum terhadap wanita yang dianggap levelnya lebih tinggi. Si “aku” merasa bahwa si wanita pujaan itu seolah menghindar dan tak seakrab dulu lagi. Padahal si “aku” merasa nggak mengusik jalan hidup yang di tempuh si wanita. Si “aku” merasa nggak pantas mendikte si wanita yang jelas-jelas telah menguasai lebih hebat darinya! Si “aku” hanya pingin tahu apakah perasaan itu akan dibalas si wanita atau nggak? Andaikan si wanita itu menunggu kata “cinta” keluar dari bibir si “aku”, maka si “aku” justru pingin tahu apa sesungguhnya makna cinta menurut wanita pujaan itu. Si “aku” sudah lama tak lagi mengucap kata itu di depan wanita manapun! Jadi “kamar pribadi” adalah metafora buat isi hati, sedangkan “penari” juga hanya sekedar metafora buat aktivitas juga prestasi si wanita, sekedar memudahkanku dalam detail saja! Sementara judul yang aku ambil mungkin juga kurang tepat. Semata-mata kenakalan saya saja buat memancing komentar dari rekan-rekan di FB! Puisi yang teramat sangat sederhana mungkin, tercipta dalam waktu sekitar satu jam. Walaupun berasal dari imajinasi tapi tak aku pungkiri bahwa puisi itu tetap beraroma bau badan saya! Jadi “cinta” di sini bukan cinta seperti apa yang di syairkan Jalaludin Rumi ataupun Khalil Gibran, tapi apa yang pernah diucap oleh Romeo pada Juliet atau Rama pada Sinta!

Minggu, 27 September 2009

PROSES KREATIF ARYO YUDISTIRA

PROSES KREATIF ARYO YUDISTIRA

Minat pada dunia tulis menulis muncul sejak duduk di bangku SD, walaupun cuma sebagai penikmat belum mencoba membuat sebuah karya. Mungkin juga di sebut kutu buku waktu itu khususnya karya-karya fiksi. Ada sebuah kisah menarik pada masa itu, yaitu tentang habisnya stok sebuah taman bacaan kecil yang menjadi langgananku. Sampai kadang kalau aku datang si pemilik bersembunyi karena malu padaku belum bisa menambah koleksi buku baru, sedangkan semua stok buku yang ada telah aku lalap habis!
Pada bangku SMP walau tak seberapa tapi sudah mulai belajar membuat karya. Tapi semua cuma mejeng di mading (Majalah Dinding). Sebuah rasa bangga mungkin upah yang aku terima waktu itu. Pada bangku SMA tak banyak berubah masih berkelas mading saja tulisanku yang rata-rata berbentuk puisi, cerpen dan cerita humor! Kadang juga mencoba membuat plot novel, tapi nggak tahu kenapa nggak juga terealisasi! Lagi semangat-semangatnya, karena satu buah cerita humorku di muat di sebuah majalah remaja, sebuah kendala muncul. Mesin ketik bekas yang selama ini aku pakai rusak dan nggak bisa di perbaiki. Seolah dunia runtuh. Bapakku yang miskin nggak mampu membelikan. Aku pasrah! Dan tulisan ku seolah hanya menjadi diary saja di buku tulis!
Lulus SMA cita-cita besar itu ingin aku realisasikan! Dengan sedikit besar kepala dan percaya bahwa bisa masuk dengan mudah, maka aku pilih jurusan Sastra di UGM (Universita Gadjah Mada)! Yach kesombonganku membuahkan hasil aku gagal masuk dan tereliminasi. Frustasi dan putus-asa menyelimutiku. Tak mungkin aku daftar di PTS (Perguruan Tinggi Swasta), karena jelas orang tuaku nggak kuat bayar. Dalam masa inilah aku justru merantau ke Jakarta dan putuslah dunia tulis menulis. Setahun kemudian aku kembali daftar UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Megeri). Di sinilah KESALAHAN TERBESAR DALAM HIDUPKU terjadi. Aku ambil jurusan Bahasa Inggris UNY - Universitas Negeri Yogyakarta (waktu itu IKIP - Institut Keguruab dab Ilmu Pendidikan Negeri Karangmalang Yogyakarta). Aku kecelik ternyata pelajaran sastra di sini tak seberapa. Menyesal kenapa nggak ambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia saja! Akhirnya rasa kecewa itu berbuah malapetaka. Tak ada perkembangan berarti di sini, waktu habis buat mengejar ketertinggalan nilai mata kuliah. Cobaan kembali muncul saat badai krismon (krisis moneter) melanda juga keluargaku. Demi adik-adik terpaksa aku cuti kuliah sampai tiga semester bahkan kemudian ngalah nggak meneruskan kuliah. Mulailah kembali ada waktu buat menulis. Satu dua tulisan mulai lahir dan satu buah cerpen di muat di tabloid daerah dengan nama pena Aryo de zranda. Sepertinya semangat hidup mulai muncul kembali. Cerpen demi cerpen mulai lahir dan memenuhi memori computer yang telah mampu aku beli. Mulailah aku mencoba menulis novel. Walau susah payah, akhirnya selesai juga satu judul novel. Satu bulan ngendon di sebuah penerbit akhirnya aku ambil dengan maksud aku revisi. Manusia merencanakan tapi Tuhanlah yang memutuskan! Bencana yang tak pernah kita bayangkan melanda Bantul! Gempa besar yang meluluh lantakkan kota tercinta. Tak ada korban jiwa memang bagi keluargaku, tapi tidak bagi aku. Semua tulisanku di disket dan hardisk musnah tersiram air hujan. Susah payah aku mencari cara agar bisa menyelamatkan, tapi tak seberapa yang bisa terselamatkan. Sebagian besar musnah! Putus asa! Deja vu mungkin!
Setelah itu aku sibuk mengelola toko kelontong, dunia baru yang cukup menghibur dan memberi nyawa bagi hidup yang hampir mati. Dunia tulis menulis kembali terlupakan, kecuali catatan-catatan kecil tentang kegagalan berumah tangga! Kisah yang memalukan sebenarnya tapi cukup bisa menjadi pemantik bagi minat tulis-menulisku! Akhir tahun 2008 mulailah rasa rindu itu bergolak luar biasa. Ada sesuatu yang hilang dalam hidup. Seolah aku bukanlah aku yang dulu. Suatu kali ketika melihat blog sastra di internet, timbul rasa iri untuk membikin hal yang sama. Mulailah aku rajin online internet sekedar bikin blog. Blog pertama ada di wordpress dengan alamat http://yudistiraningwong.wordpress.com. Inilah blog yang berisi kisah kelamku di masa lalu juga sisa-sisa tulisan yang masih sempat aku selamatkan. Ada semangat yang luar biasa besar selepas booming facebook. Di ajang inilah aku mulai bertemu dengan banyak teman yang satu minat di dunia kata. Dari merekalah api ini semakin membesar dan pelan-pelan rasa rindu mulai terobati. Satu demi satu puisi aku posting di facebook. Di facebook aku punya dua akun yaitu ARYO YUDISTIRA dan ARYO YUDISTIRANINGWONG. Makasih aku ucapakan buat Mas Akhmad Muhaimin Azzet, Mbak Herlinatiens, Mas (Uda?) Indrian Koto, Mas Teguh Wangsa Gandi, Mas Yayan Rozaq T,Mas Ayu Yulia, Ririe Rengganis dan lain-lain yang tak sempat aku sebutkan. Sambutan kalian buat aku demikian luar biasa aku rasakan…seolah telah sejajar, padahal aku ini belum apa-apa!! Puisi-puisi yang aku posting di facebook kemudian aku kumpulkan dalam satu blog di : http://aryodezranda.multiply.com.

Demikianlah kisah yang teramat sangat sederhana tentang Aryo Yudistira, seorang lelaki yang mencoba menjadi penulis cyber berkat sebuah dorongan dari rasa rindunya pada dunia kata, dunia yang cukup lama dia cintai!

Di sini gemerincing mimpi pernah lahir di sini pula semua itu kian meredup dan mungkin di sini pula semua itu akan terkubur. Srandakan…kampung kecil katamu buanglah blobok di pintu matamu inilah bonsai metropolis ...

BIODATA

Nama : Aryo Yudistira alias Aryo Yudistiraningwong alias Aryo de zranda
Tempat tanggal lahir : Bantul, 30 maret 1974
Pendidikan : SMA 1 Bantul lulus tahun 1993
UNY FBS Prodi Bahasa Inggris angkatan 1994 keluar tahun 2001
Tempat tinggal : Srandakan Trimurti Srandakan Bantul Yogyakarta

Tentang :
Seorang lelaki yang lahir di sudut barat Bantul. Tinggal dan menetap di sana.

Jumat, 18 September 2009

PUISI - CHAOS DALAM BAHASA

Puisi - Chaos dalam bahasa

Chaos adalah pergerakan atau perubahan yang tidak dapat diduga mau kemana ataupun menjadi apa. Kepak sayap seekor kupu-kupu di suatu hutan mungkin akan berkaitan dengan badai disuatu tempat lainnya, the butterfly effect. Puisi yang terbentuk melalui rangkaian kata adalah chaos dalam bahasa. Kata kata dapat dipilih begitu saja, dibentuk dan dirangkai dengan tidak mempermasalahkan berbagai aturan yang biasanya ketat dipergunakan di dalam penulisan , seperti aturan tatabahasa umpamanya. Namun pada akhirnya sebagaimana kepak sayap kupu-kupu yang sangat sulit dilacak keterkaitannya dengan terjadinya badai, rangkaian kata kata akan menjadi makna dalam puisi, bisa sesuatu makna yang terkait dengan logika, etika, estetika ataupun pengabungannya. Puisi dapat bertahan dalam keuniversalitasan baik ruang maupun waktu dalam budaya manusia oleh karena selalu mampu melepaskan dirinya dari berbagai jeratan establishment atau kemandegan melalui inherenitas chaotic yang dikandungnya. Puisi bukan saja rima, matra, mantra atau lainnya yang berkecenderungan penggiringan atau pembatasan makna menjadi sesuatu yang unik, singularitas bahasa. Puisi adalah pembebasan, chaos dalam bahasa, menawarkan pluralitas makna kerena ketidakterdugaan.

JATUH DI SEMAMPAI MIMPI

Pintu memisah waktu jadi gaung tak pernah hilang tunggu desau memanggil pulang ketika mata sesayup lebur dalam kubang pandang langit yang diam enggan merengkuh tubuh peluh jatuh di semampai mimpi

Luka serasa bara api kecil dupa menohokkan pinta jemaripun menggenggam air jatuh mengucur di selanya pergi membawa sejuta makna kembali perbincangan nanti seramai salam kepergian cukup sudah kata kecup itu

Itukah belenggu rindu bulan mencumbu matahari tergesa burung pulang kesarang untuk terbang kembali dalam siang tak berpagi sedang kereta tetap melaju menjadi bayang titik hitam menghilang tak sampai disetasiun penghentian

Mari bertega tertawalah mencanda biarkan angin terjepit menjadi ganjal agar sesal tak menggulir duka luka tinggalkan menganga mencecap hawa dewasakan kekecewaan menjadi derai tangis meluruh menjadi sepi sepi dan sepi kini


BIODATA
Loektamadji A Poerwaka. Lahir di Gombong pada tanggal 23 Desember 1959.
Saat ini bermukim di Bekasi.

PENDIDIKAN
Pendidikan sarjananya (S1) di bidang Fisika Teoritis diperoleh dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sedang pendidikan PascaSarjananya (S2) di bidang Teknik Geofisika di peroleh dari Institute Teknologi Bandung dan Pascasarjana (S2) dibidang hukum diperoleh dari Universitas Padjajaran Bandung. Pendidikan Doktor (S3) di bidang teknik Geofisika diperoleh dari Institute Teknologi Bandung.

PEKERJAAN
Saat ini yang bersangkutan bekerja pada berbagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa pada Industri Migas di Indonesia. serta menjadi konsultan independen pada beberapa perusahaan migas di Indonesia. Selain itu juga menjadi Dosen tidak tetap di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan di jurusan Teknik Geofisika di salah satu perguruan Tinggi Negeri di Bandung.

KARYA
Selain kegiatan formalnya, yang bersangkutan adalah pencinta seni termasuk fotografi dan puisi.
Publikasi untuk karya fotografinya bersama dengan fotografer lainnya di terbitkan oleh The International Library of Photography, Quest for Tomorow, November 2001 di Amerika Serikat.
Publikasi untuk karya puisi berbahasa Inggris bersama dengan penulis lainnya diterbitkan diantaranya dalam In the Quite Hours (ISBN 0-7951-5014-8) oleh The International Library of Poetry pada tahun 2001
An Open Door (ISBN 0-7951-5015-6) oleh The International Library of Poetry pada tahun 2001 keduanya di Amerika Serikat.
Di Indonesia karya puisi berbahasa Indonesia bersama dengan penulis lainnya diterbitkan dalam Sebuah Antologi Puisi Cyber Graffiti Gratitude oleh Penerbit Angkasa Bandung pada tahun 2001.

MENGALAMI MASA DEPAN

Mengalami Masa Depan
Jumat, 10 Juli 2009 | 23:14 WIB

Catatan kreatif dari Cunong N. Suraja)*

Beberapa hari yang lewat aku selesai menuliskan proses kreatif untuk ikutan acara mailing list APSAS. Seperti berjoget di depan kaca tembus pandang aku merunuti jejak tertinggal pada sajak. Aku temukan pecahan-pecahan pribadi yang melekat liat pada daki puisi. Maksud hati mengeruk mengerik mengelupas sampai tandas segala daki puisi. Ternyata itu kerja sia-sia. Walau telah kubuktikan dengan menguliti puisi itu sekali pun! Tolong simak beberapa puisi berikut:

MENGULITI PUISI

kucoba membuka satu persatu lapis demi lapis kulit agar sampai pada inti untuk memahami peristiwa awal kemunculan bunyi dalam rangkaian huruf yang membangun kata dan menyusun kalimat

jadilah puisi itu tegak setegak sajak yang merayapi alinea demi alinea pada paragraf dengan bermacam frase dan klausa membuncahkan imaji yang tak bertepi

jadilah sebuah fiksi yang melayang-layang lincah bagai layang-layang yang berekor terbang di langit biru ditarik tali temalinya dari bumi oleh seorang anak kecil yang mengagumi sepasang merpati membuat sarang

bayangan imaji itu terus menari dan menukik saat malam tiba jadi ilham mimpi seorang jagal yang memotong hewan korban dan mulai menguliti dan memotong tulang dan menyayat sesayat demi sesayat seluruh jaringan syaraf hewan bernama syair.

MEMBUNGKUS PUISI

aku kedinginan di sini setelah kau cabuti kata hujan dalam tubuhku
kejinya kau telah kau hitami seluruh tanda baca yang menghadirkan nafasku
kenapa kau masih juga sanggup mengutungi setiap huruf hidup hingga aku jadi bisu

aku menunggumu membenahi rambutku yang kusut setelah kau gumuli semalaman
begitu masai dan sangsai tubuhku tanpa busana
tanpa belas kau baringkan lagi dengan selangkangan yang terbuka agar ada ruang
untuk kau jejalkan segala imaji dan anganmu yang liar

aku terkapar tak berdaya menunggu uluran tanganmu menutupi segala aibku
kini aku hanya bangunan huruf mati tanpa kata sambung dan kata penghubung

MEMBURU PUISI

semalaman mimpi itu menyelip dalam lipatan kulit jangat menoreh-noreh kenangan yang selalu membayang dalam mata batin yang lelah setelah seharian menguntit jejak sajak
sajak itu menghilang dalam keramaian pentas hiburan dengan segala macam permainan seperti komidi putar dan keriuhan sekaten Yogyakarta
pada sebuah pesta jalanan karnaval arak-arakan pawai demokrasi atas ulang tahun sebuah partai besar menghadirkan barongsai dan ular naga yang digerakkan para pemain kungfu meloncat ke kiri ke kanan meliuk dan tak lupa untuk tiarap (sajak itu) jadi bola merah yang selalu akan disantap mulut naga.
aku ingat Raja Astina Parikesit yang memegang buah jambu yang berisi Naga Taksaka yang merupakan cerminan kezaliman penguasa yang mati oleh ulat buah jambu.
sajak siapa itu yang menghilang dalam larik-larik sajak memaknai ruh tiba-tiba terdekap

MERINGKUS PUISI

benar kata penyair itu ketika hujan bercerita tentang gerimis dan gerimis bercerita tentang titik air dan air bercerita tentang uap yang mengembun dan embun bercerita tentang sengatan matahari dan matahari tertawa lantang: akulah penguasa alam, rajanya bumi dan melintang di batas cakrawala

benarkah kata penyair itu hutan menyimpan misteri tentang gelap dan hujan pagi-pagi serta angin yang mati tertikam musim juga debu-debu yang bersaksi akan selingkuhan lumut dengan bakteri?

benar-benar sendiri dalam kembara di sebuah negeri tanpa hari tanpa detik melata merayapi padang pasir yang tanpa pohonan binatang maupun cerita sejarah kejadian sebuah kerajaan

benarkan jika semua itu hanya cerita bohong penyair yang kehilangan jejak puisi yang telah merasuk dalam sajak penyair yang telah lama menjadi pengagumnya!

MENJEBAK PUISI

seperti Danarto yang menjaring malaikat penyair itu duduk diam mencoba kailnya untuk menjerat semua yang lewat. barangkali saja kelelawar yang membawa buah ranum apalagi kalau burung yang membawa kegembiraan atas temboloknya yang penuh. bukan cerita duka negeri senja!
seperti Darmanto yang memukul bola golf bersama Rahwana dan menggelinding dirumputan penyair itu bergulingan di padang pasir memburu debu-debu pikirannya yang buntu. barangkali saja dari debu itu dikejarnya jejak kaki Tuhan yang terus berlari sembunyi dalam kebenaran sajak-sajak religius penyair saleh yang mati dalam meditasi paginya seusai menuliskan puisi tentang keagungan, keesaan dan kemahaan Khaliknya

MENJARING PUISI

akulah nelayan pantai selatan yang piawai menjaring ikan besar dan ikan kecil dan sudah kujalani pekerjaan ini bertahun-tahun sesuai tradisi seperti nelayan-nelayan dalam cerita Ernest Hemingway yang memburu ikan besar di laut luas

akulah penghuni gang-gang gelap yang senantiasa siap dengan pisau tajam meminta dompet dan perhiasan orang yang tersesat ke jalur ini tak dapat kembali kecuali miskin dan papa

akulah penyair tanpa puisi karena semua jalur telah terisi dengan gaya dan corak puisi yang trade mark. jadilah kau jaring menangkap angin dan menetes jadi darah yang beracun membunuh semua huruf dan bunyi.

akulah penyair yang tertimbun puisi basi karena selalu mengekor setiap ada penyair mengeluarkan kredo dan puisi yang menyendiri dan dianggap asli.

MENGOPERASI PUISI

ini bukan masalah pisau bedah tapi pentungan polisi yang hitam dan memburu seperti demonstran yang membawa spanduk menghujat pejabat

ini bukan petuah di mimbar yang berbicara tentang yang baik-baik dan menghujat yang buruk serta menakut-nakuti umat akan hari kiamat sudah dekat

ini juga bukan kuliah di dalam kelas mahasiswa yang terkantuk-kantuk sebagian lagi terbatuk-batuk yang lain lagi berciuman dengan ketat menunjukkan hasrat yang kuat sebagai pewaris masa depan dan sang pemberi kuliah tetap saja dengan rencananya yang sudah dicatat setiap saat dengan taat

terserah kau akan membuka dengan paksa dengan melukai seluruh nadi, kulit dan tali syaraf per kata bahkan per bunyi
terserah saja
saatnya kau mulai dan tancapkan imajinasimu dengan pasti

MELILIT PUISI

bayi itu bernama Mira Sato merayapi dinding pagar kota membawa pedang sakti dari gunung Kitab Omong Kosong di wilayah Negeri Senja saat senja dimasukkan dalam surat pribadi yang telah diterima dengan baik penerimanya: senja itu lumer seperti es cream legit mencengkram horizon gapaian rambut panjang berkutu berwarna kelabu sambil mengepalkan tangan menjaring angin lindap di ketiak pepohonan menyusupkan bisik berahi mencengkram dada langit menyusup di kerimbunan rambut halus di dahi berkerut menghasut penyair muda menumpuk membongkar laci puisi kerinduan mencengkram cakrawala menggolak lautan merendam daratan mimpi penyair melumuri benda ruang dengan semua fatamorgana dan membiarkan mereka menahan ingin


Aku mengetahui kegagalan mengkupas kulit jangat kekreatifanku dalam dunia puisi yang tidak seberhasil Asep Samboja dengan puisi di mailing list penyair yang membuat orang bertanya-tanya karena judul yang menyaran pada peristiwa kematian orang terhormat. Asep Samboja terpaksa melakukan harakiri dengan menjelaskan makna puisinya: Jadilah harakiri penyair yang menguliti puisi sehingga telanjang tanpa ruh. Puisi itu menggelepar-gelepar di tangan penyairnya. Penyairnya berdarah-darah tersayat-sayat kulit kreativitasnya. Alih-alih membuat sebuah katarsis malahan menjadi pesta bunuh diri membuka tabir rahasia penciptaannya. Padahal proses kreatif Asep Semboja dalam menhadirkan imaji tadi berniat mengucapkan selamat tingal masa lalu dan selamat datang masa depan: peristiwa kreatif penyucian diri lewat ungkapan “selamat tinggal” dengan cara Asep Samboja adalah cara membunuh ruh puisi. Memutus hubungan keterikatan batin yang dalam kreativitas selalu dicurigai sebagai epigon bukan proses “plagiarism” atau penyontekan penjiplakan mentah-mentah dan menjadi bayangan anak kembar cloning pada penyair yang dipujanya. Sebuah proses selalu bermula dari meniru bukan menjiplak, karena dalam tiruan ada kemiripan bukan yang dikenal dengan istilah copy – paste yang tentunya akan menjadi sama persis atau pantulan cermin. Meniru masih dalam proses kreatif karena masih jauh dari kesamaan. Meniru telah dilakukan oleh anak Adam sejak pembunuhan pertama kali dengan peristiwa dua ekor burung yang saling berpatuk-patukan dan menyebabkan kematian yang satu dan kemudian yang lain menguburkannya. Aku mencobanya dengan beberapa puisi berikut:

PUISI SAPARDI

kucabuti segala kata hujan hingga penyair kedinginan
apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam
makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya
kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi
sampai kutemukan sepotong dukanya makin mengabadi

kukutungi semua kata yang berbicara tentang bulan Juni
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas

kureka seperti apa jika semua puisi Sapardi kuhitami
pastinya tinggal sehelai kartu pos dan lukisan cat air
yang berbicara tentang cinta yang tak lagi sederhana
sebab ternyata cinta bukan segalanya di dunia fana

PUISI SUTARDJI

seperti juga puisi Sapardi kukuliti milik Sutardji
kucabuti kepala dan huruf besarnya
kuhapus semua huruf yang liar mengubah warna kata
kuhitami jejak jalan keluar dari mesin pintar pengolah kata

seperti puisi Sapardi juga semua kata puisi Sutardji kusuruh harakiri
mereka saling menusuk seperti semut hitam saling membunuh
selayaknya desa yang berperang hanya merebutkan kata cinta terlarang
seperti para tentara Israel dengan pongah membombardir penduduk desa
yang tinggal anak-anak dan sejumlah perempuan renta
juga Amerika Serikat yang dermawan murah hati menjatuhkan bom napalem
di bumi Vietnam Selatan, Afghanistan, juga Irak
demikianlah sajak dan puisi Sutardji tinggal tanda baca saja

PUISI SUBAGIO

dewa mabuk mati di planet menyiulkan keroncong Motinggo
makin akrab kematian itu seakan mega berarak di ranjang
membungkukkan patah punggung tapi tepat saja luput terindu

pada sepi yang meninggi seakan Chairil Anwar di senja pelabuhan kecil
iseng dengan rohnya dan meluncur ke dalam lembah Kilimanjaro
sebuah daerah perbatasan antara bawah sadar dan mimpi yang tak terbantahkan
layang bayangan dan matahari Sapardi yang berebut mata pisau

PUISI GOENAWAN MOHAMAD

yang satu ini penyair yang bagai guci antik yang retak dalam dingin tak tercatat dan menuliskan kata Sarajevo penuh lalat dan ketidakadilan selayaknya Pulau Buru tempat tapol diperam membajak tanah dan tak lagi berhubungan dengan sanak kerabat maupun dunia yang senantiasa berputar

yang satu ini memang seorang penulis catatan pinggir yang tak mau minggir dari jabatan tertingginya di dunia tulis menulis sehingga menutupi kanal-kanal prioritas penulis muda untuk berkiprah dan menorehkan puisinya di sebuah kalam

yang satu ini senantiasa menyuarakan suara bawah tanah yang menguak ketidakadilan dan kesenjangan budaya antar bangsa

PUISI RENDRA

demikian juga puisi Rendra sama halnya puisi Sapardi dan Sutardji kupenggali kalimat demi kalimat yang memberontak pada penguasa zalim dan membela si miskin
semua panorama senjakala dan suasana di stasiun bawah tanah di New York kuhitamkan dengan tinta spidol yang beraroma alkohol memabukkan dan meracuni udara kota

puisi Rendra jadi seperti ayam trondol tanpa bulu, gundul tanpa rambut dan botak mengkilap sehingga kehilangan pesona sajaknya
Rendra merunduk dalam belantara kata-kata seperti ketika meringkuk dalam tahanan di jalan Guntur tangannya selalu mengepal meneriakkan perlawanan mirip Wiji Thukul dengan kata lawan yang menghilangkan manusiawinya hingga sekarang

Rendra diam membisu ketika kutawarkan sebatang lisong dan jagung yang teronggok di sudut sekolah tempat guru dan murid bercengkrema melampiaskan hasrat berkuasa dan menangisi usianya yang sia-sia dalam sebuah pidato kebudayaan

Setelah cukup lelah melepaskan indentitas pengekor, epigon, follower atapun copy paste. Aku coba dengan memburu kata sexy dan menawan untuk dipermainkan dalam olah kata. Aku menyeret imaji masa lalu dalam rentetan kecerewetan akal mengakali kata yang tampak eksotis. Kata itu kugumuli cukup lama dengan potret-potret perjalanan hidup yang carut-marut. Kekecewaan atas perlakuan minoritas perbedaan gender dan ketersudutan yang lemah dan miskin kekuasaan. Hanya kata yang dapat diperkosa semena-mena. Kata itu aku "rudo perwoso" agar menyediakan luang ruang meninggalkan jejak panjang. Sila simak sajak berikut:

NIGGER

ketika anjing menyalak tak menggigit ketika anjing menggeram siap mengoyak giginya yang menyeringai membelah langit cakarnya menggaruk nasib pada malam kelam pada dataran mimpi dewa-dewi dan peri gigi
2007-10-09

BITCH

perempuan yang berjalan menuju kegelapan memuntahkan janin dalam gang-gang menorehkan nasib pada jendela apartemen meluncur menuju bumi untuk mati dan dunia menyeringai bagi nama pahlawan devisa
2007-10-09

F _ _ K

maumu menyeringai dengan taring liberalisme yang keluar sendawa bau alkohol murahan merayapi malam dengan mimpi gelandangan menancap pada makam kuno yang telah dibongkar
2007-10-09

MORON

apalagi yang kau tawarkan selain teh tawar dalam senja yang temaram dengan bunyi gaduh cafe hanyalah sendau-gurauan para penghuni malam yang sia-sia
2007-10-09

DAMN IT!

dampak luka lelaki yang ditinggal lari perempuannya menorehkan malam tanpa bintang di langit dipindah di batok kepalanya
2007

Kata-kata sebagai judul itu datang dari masa pembuangan di negara Paman Sam sebagai kata makian.

Peristiwa harakiri Asep Samboja menimbulkan trauma, tidak terhadapku karena teror selanjutnya datang dengan ledekan dan lecehan atas keberanian sikap ditantang oleh sang tokoh. Sajak jadi pulas tidur tanpa mimpi.Sajak jadi mati gaya karena kegamangan. Untung ada mailing list yang instant melahirkan sajak jeprut yang kadang juga tidak jelek-jelak amat. Ini lah mereka:

ORKES MUDIK 1425 H

dari balik jendela maya
kuratapi genangan lumpur
yang meredam arah mudikku

blebeb blebeb blebeb

dari raihan tangan munggilku
hanya doa yang tersangkut
menggagap malam 1000 bulan

blebeb blebeb blebeb
2007

SURAT PAMAN

kukirim surat ini saat Paman sedang kelaparan cari korban
dengan pernyataan sederhana dan selesai kulunasi hutang penjahat negara
35 milyar dolar Amrik berapa nolnya?
karena saya hanya dapat nolnya

kukirim surat ini saat hujan gerimis tertahan di langit
seperti dongeng negeri senja yang tak pernah malam
tak pernah pagi dan penghuninya memakai cadar
karena fakta dibekap cerita kreatif bicara

kukirim surat ini ketika senja sudah dipotong Seno Gumira Ajidarma
menjadi cerita pendek buat pacarnya
juga dipesan saat senjakala oleh pencopet saat nonton karnaval

mari ikat semua sajak dan puisimu di galah
agar si telaga dan si bunga jatuh dalam pelukan pagi
berjalan menuju ke barat berhenti ketika bayang-bayang menghilang

TOILET KITA-KITA

tanpa air tanpa atap tanpa bumbu penyedap karena baunya sudah sedap sesedap kudapan jaman baheula yang tersimpan 1000 tahun!
2007

SYAIR SUSU SEPI

tegak lurus bisu kaku
dalam temaram rembang senja
perahu melintasi telaga

berbaring lurus di padang pasir
menanti hari luruh didekap
di dada cakrawala yang mekar

puting itu meneteskan isyarat
tentang keabadian
tanyakan pada penyair
yang sedang memantau angin

hujan dan gerimis berpacu
menuju koala
menuju dada penyair
dalam sedan tertahan

sepiku melintas ditangkap jaring penyair yang mengail angin!
bogor diguyur hujan sore 2007

PUISI DAN PEREMPUAN

setiap kali membaca puisi lelaki selalu terrefleksi tubuh perempuan ketika tidur di ranjang ketika mandi di kali ketika makan di restauran ketika menangis di perkabungan ketika tersenyum saat melahirkan dan dilamar pria ketika suatu ketika di dalam keranda pualam bak putri Salju menunggu sang pangeran
2007

PUISI ADALAH ...

puisi adalah hujan bulan juni kata Sapardi Djoko Damono puisi adalah hujan dan ayam kata Sutardji CB puisi adalah tambur mainan anak-anak di negeri ajaib kata Rendra puisi adalah guci retak kata Goenawan Mohamad puisi adalah bayi mati tak mati mati mati kata Mira Sato puisi adalah cakrawala tanpa batas dan berdoa dan menyatakan cinta kata Taufik Ismail puisi: perkenankanlah aku memuisi menjadi puisi
2007

TAK JADISUTARJADI TAK

ketika kau terkantuk,
ikanaku menjadi tarji
ikankuda menjadi tak tarji
keongkuda menjadi tarji tak
keongbambu menjadi tak tarji tak
lumutbambu menjadi tarji tak tak
lumutabu mengabu: jitak!


SELAMAT TINGGAL

bergandeng tangan
susuri setapak jalan

tersangkut hatimu di satu tepian
terpaut hatiku di tepian lain

perpisahan menanti di ujung jalan
sampai jumpa di lain pernikahan

2005

SELAMAT DATANG YA RAMADHAN

rindu itu makin menumpuk
serasa tumpukan daki
dan ujung hitam di kuku
tak tuntas ditetak

mohon maaf ya karib, sohib perkawanan
bukakan keridhoanmu
bagi jalan suci di bulan Ramadhan
tak lupa kubuka pintu maafku lahir batin

spt 29 05

Fasilitas berikutnya sebelumnya adalah Homepage seperti Kompas.com maupun media masa yang sudi menghibahkan bandwithnya untuk kekonyolan pemain katakata. Baru hadir fasilitas Blog, Multiply dan segala bentuk catatan pribadi yang sungguh-sungguh narsis dalam artian tanpa editing dan sensor orang lain kecuali hati nurani penulisnya. Aku gagal membentuk fasilitas terakhir karena kemalasan. Maka setelah lahir wahana internet baru facebook yang bagai lautan mampu menampung segala bentuk cacian, makian, sampah pikiran maupun biji-biji bernas gagasan dan tidak memerlukan penjaga gawang atau owner atau moderator (walaupun terjadi juga pembrangusan bagi yang dianggap spam atau junk mail oleh penyelenggara facebook, karena ada pelaporan bahwa pribadi yang bawel dan bocor dalam menorehkan imaji itu ditutup fasilitasnya sementara setelah memuntahkan segala macam residu otak secara bertubi-tubi tanpa henti sesekonpun). Mari silakan makan sampah wall dan takikan jawaban pada kawan facebook yang tercoret di dinding mukabuku:

KEPADA HUDAN

hampir malam menuju pusarnya yang bulat pipih kau selalu hadir saat aku ingin melupakanmu kau mengusik lewat mimpi sesaat yang memanfaatkan waktu jeda

PULANG

dapatkah kau kembali pulang sedang ragamu masih terikat kontrak kerja negeri sebrang mampukah kau renangi masa kecilmu di negeri orang sedang foto-foto di album itu berjamur mengaburkan wajah mungilmu tidak aneh jika kau mudik terusik akan dunia kerjamu yang rapat tapi jika kau kerja kau melamunkan tanah garapan moyangmu yang telah menghutan kembali

MALAM PANJANG

belum juga kau selesaikan makan malammu kau seret imajiku atas hamparan padang rumput bulan purnama kau gulingkan tubuhmu di hamparan permadani alam aku termangu untuk meneruskan tingkah lakumu adakah cinta di sela batang rumput itu?

MALAM YANG SUSUT KELABU

kata GM ada suara sauh jatuh bergema adakah kita makin menepi pada ranjang besi makin pualam makin dalam?

MALAM TURUN

senja memerah darah menutup hari dengan ceria hari ini kata hikayat besok pagi akan benderang mengusir hujan kemarau kemarau kemarau adakah kau sisakan gerimis bagi pejalan malam ini?
ku tebarkan wangi tubuhmu bersama wangi tanah tersiram gerimis renyai
aku terpesona dan ngungun di bukit rimbun perdu mengintipmu di sela-sela batang perdu yang berbunga ungu
mestikah aku mendekat?
(aku takut terpikat!)


MENCARI TEMAN

ketika kautawarkan sebuah arena yang terbuka luas dan jujur kuburu segala sudut arena untuk mencari yang lama dan baru tiba-tiba kau katakan: berhentilah bergunjing di arena itu! (suara siapa yang tak segera kukenali? walau sebatas dalam relung hati yang masgul)

MIMPI SORE

Tuhan Hudan menyodorkan sejumlah mimpi dalam paket hemat dan harga terjangkau Di ujung barat masih tersisa senja hari ini yang telah dipotong penulis cerita itu di kirimkan ke pacarnya aku terus bermimpi mimpi pengembara menemukan ujungnya senja!

MAKA TERCIPTALAH PADI

karena kemarahan Batara Kala matilah Dewi Kesuburan dan dari jazadnya tumbuh rerumputan kemudian menjilma pepadian

MEMBACA HUDAN

hudan adalah hidayat dari langit terbentang melapis-lapis dari hitam kelabu hingga putih kapas di langit biru muda hudan datang hidayat pelangi melengkung menuju telaga tempat Jaka Tarub mengutil baju bidadari dan dikawini hingga beranak satu hudan memburu hidayat bahagia bumi yang semu dan hanya tertuang dalam padi yang dimasak dewi pelangi gagal jadi nasi dan tetap padi menangislah manusia bumi!

KEMBALI KE RUMAH

setelah menyususri jejak berdarah di Afghanistan, Irak dan Palestina kutemui jalan pulang untuk berkorban dengan harta dan doa setelah lama baru kumengerti nilai darah yang tumpah di tanah sendiri ternyata mudik dengan segala macam cara adalah ritual bersih diri setelah berdiri lama memandang bukit Jayagiri dalam samar pagi tak kujumpai lagi melati yang kau tinggalkan di sini

PESAN

jangan kau sentuh perempuan-perempuan jika hanya akan kau campakkan jangan kau nikahi perempuan itu jika hanya untuk menunjukkan kejantanan

JAYAGIRI SEUSAI SENJA

masih merah jejak di langit dalam genggam gerimis kecut warna yang meleleh dalam percakapan sunyi bak petapa mengutip jejak angin menuju bukit membelah angan Sangkuriang resah mengecup jejak bunda inilah nubuatmu OEDIPUS! tak sudi aku mendorong batu Sysipus yang senantiasa berguling lagi ke bawah Promoteus rentangkan tanganmu agar rantai lerai melilit bumi

SEMAR

kata itu muncul saat ki dalang membuat gara-gara lalu terjadi keributan saling pukul saling hantam mereka berdarah dan memar tanpa bantuan medis mereka memperebutkan tawa dari penonton dan Semar semakin samar karena muncul dalam sejarah politik

SABTU SENGGUTRU

sudah ke enampuluh purnama badan lungkrah lesu seakan ada yang menyayat kulit dan ada makhluk lain menyesap keluar kulit seiring dengan pemekaran tubuh menggelinjang bergetar gigil panas meledak memecah membucah mengelora menggelombang ada suara jatuh di sudut jauh yang makin susut dan melesap dalam angan

Then what’s next? Setelah segala macam fasilitas internet yang mendekatkan jarak, menghubungkan silaturahmi dan mengeratkan kekayaan batin masing-masing penikmat fasilitas teknologi komunikasi canggih, fasilitas apa lagi yang akan mengebor segala kekayaan pribadi seperti halnya facebook yang sudah menguras tuntas bentuk verbal, pesan tulis maupun gambar dan gerak dalam rekaman video beserta segala bunyi. Adakah sarana lain yang akan lebih menginstantkan cara berkarya di masa depan? Adakah jawaban teknologi mutakhir mampu merekam segala yang ingin direkam? Mampukah menyimpan segala embrio pikiran yang masih dalam janin angan-angan. Menjadikan futurer dan fortuner yang handal untuk dunia di depan yang akan direka untuk kemaslahatan anak cucu mendatang.

Bentuk sajak dengan segala macam tanda: penanda dan petanda akan lahir seperti yang sudah dikenal dengan nama cyberpoetry, cyberpoem, cyberliterture yang mencakup essay, novel dan cerita pendek. Cyberbook yang dikenal dengan e-book dan belajar melalui internet yang dikenal dengan e-learning yang sudah mengalahkan proses open distance learning kuno yang masih menggunakan modul yang berupa buku cetak maupun bentuk rekam suara dalam pita atau cakram padat.

Modul sebuah kata yang padat untuk mengemas masa depan. Masa yang dimampatkan dalam cakram. Masa yang nantinya seperti tukang sihir membaca pikiran lawan dan menghasilkan jurus sihir baru yang mungkin seperti kitab yang diburu Satya dan Maneka dalam Kitab Omong Kosong maupun sang pengembara yang selesai dalam petualangan Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma.

Bogor habis nyontreng pilpres 2009

dicomot dari: http://oase.kompas.com/read/xml/2009/07/10/2314547/mengalami.masa.depan

)*: BIODATA
Name: Cunong Nunuk Suraja
Place and Date of Birth: Yogyakarta, October 9, 1951

EDUCATION:

1963 graduated from Elementary School (Sekolah Rakyat Negeri Petinggen I) in Yogyakarta

1966 graduated from Middle School (Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII) in Yogyakarta

1969 graduated from High School (Sekolah Menengah Atas Negeri III) on Natural Science (Ilmu Pengetahuan Alam) in Yogyakarta

1979 graduated from B.A. of English Educational Program (Sarjana Muda Pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Seni Sastra – IKIP) in Yogyakarta

1981 graduated from Sarjana (Sarjana Pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni – IKIP) in Jakarta

2006 graduated from Magister (Ilmu Susastra, FIB – UI) in Depok (Jakarta)

JOB EXPERIENCES:

1983 – 1992 teaching English in Teacher Training for Elementary Teacher (SPG Negeri) Sukabumi

1992 – 1995 teaching English in Tourism Vocational School (SMK Pariwisata Negeri) Bogor

2001 – until now part time teacher in Tourism Vocational School Bogor

1989 – 2008 a part time teacher in English Education Program, Ibn Khaldun University Bogor

2001 – until 2009 a part time teacher in English Education Program, Pakuan University) Bogor

2008 – until now a teacher in English Education Program, Ibn Khaldun University Bogor


PUBLISHING BOOKS

Bulak Sumur – Malioboro. (Antologi Puisi Bersama). 1975. Yogyakarta: Dema UGM

Lirik-lirik Kemenangan. (Antologi Puisi Indonesia). 1994. Yogyakarta: Taman Budaya Propinsi DIY

Antologi Puisi Indonesia 1997. (Antologi Puisi Bersama). 1997. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa Bandung

The American Poetry Annual. 1996. New York: The Amherst Society

The Lasting Joy, The national Library of Poetry. 1998. Owings Mills: The National Library of Poetry

The Chorus of the Soul, The International Library of Poetry. 2000. Owings Mills: The International Library of Poetry

Graffiti Gratitude. (Antologi Puisi Cyber). 2001. Bandung: Yayasan Multimeina Sastra dan Penerbit Angkasa Bandung

Pasar Kembang, Yogyakarta dalam sajak. (Antologi Puisi Bersama). 2001. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia Yogyakarta

Graffiti Imaji. (Kumpulan Cerpen Pendek). 2002. Jakarta: Yayasan Multimeina Sastra dan Penerbit Damar Warga

Les Cyberlettres (Antologi Puisi Cyberpunk). 2005. Jakarta: Yayasan Multimeina Sastra

Mekar in Bumi. (Visiografi Eka Buinanta). 2006. Jakarta: Pustaka Alvabet

Jogja 5,9 Skala Richter (Antologi Seratus Puisi). 2006. Yogyakarta: Penerbit Bentang